Salam Tanoker Untuk SMANDASA

“Kawasan Ledok Ombo menjadi aib tersendiri bagi warga Jember. Banyak yang menudingnya sebagai kawasan yang tak lebih dari hanya sebuah neraka bagi siapapun yang bermigrasi karena kondisi sosial masyarakat telah menyimpang, sehingga menjadikan kawasan ini sebagai penyumbang angka buta aksara tertinggi di Jawa Timur. Sekitar 2,5 tahun lalu, komunitas Tanoker pun dibentuk sebagai alih perhatian warga yang mulai tak bermoral”

Itulah sekelumit sejarah yang merangkum penjelasan Farha Ciciek, salah seorang pelopor lahirnya Tanoker. Kata “Tanoker” berasal dari bahasa Madura yang berarti “Kepompong”. Tanoker adalah sebuah komunitas permainan egrang yang telah dimodifikasi menjadi media penyampaian pidato serta lomba makan kerupuk, balap egrang, dan tari kreasi. Tak hanya dikenal secara nasional, namun komunitas ini telah merambah dunia Internasional dalam kurun waktu yang relatif singkat, yaitu 2,5 tahun.

            Kemarin (4/8) diadakan acara nonton bareng video motivasi dan sharing tentang Tanoker. Di hari ketiganya, Farha Ciciek menyempatkan diri hadir di tengah siswa SMANDASA sebelum Sholat Tarawih di Gedung Mercusuar dimulai. Pertemuan ini berlangsung kurang dari satu jam, namun telah cukup memotivasi siswa untuk lebih peduli pada pengembangan permainan tradisional.

            “Bermain itu bukan main-main.”

Saat kalimat tersebut terlontar dari Farha Ciciek, suasana berubah menjadi riuh, menunjukkan sikap pro dari seluruh siswa SMANDASA. Menurutnya, bermain adalah hal yang serius karena dapat menjadi media sosialisasi, pembentukan karakter, sportivitas, penanaman akhlak, dan nilai-nilai yang baik. Beliau berani menyela pendapat Ir. Soekarno yang mengungkapkan bahwa kita dapat mengubah 10 pemuda untuk mengubah dunia. Namun baginya serahkan 10 anak, maka dunia akan berubah. “Beri mereka ruang, kepercayaan, dan pendampingan. Biarkan mereka mengkreasikan hidup mereka sendiri untuk menatap masa depan.” tambahnya.

Ibu-Farha-Ciciek-Pelopor-Tanoker

Perubahan memang tidak mudah. Tak ayal lagi, dengan sistem Bottom Up lah Tanoker berkembang. Banyak tantangan yang harus ditangkal, sebelum kesuksesan berhasil terengkuh. Paradigma buruk masyarakat akan tradisi masyarakat Madura sempat menjadi aral bagi Farha Ciciek beserta rekannya. Tak sedikit pula orang tua yang tidak mengizinkan anak-anak mereka bergabung dalam komunitas tersebut. Namun pengurus komunitas yang didominasi oleh mahasiswa setempat sangat inisiatif dalam bersosialisasi, hasilnya relasi semakin berkembang hingga menarik minat salah seorang berkewarganegaraan Amerika, yaitu Jordon Banner untuk belajar budaya Ledok Ombo selama 1,5 bulan. Iapun berhasil tampil memukau bermain egrang bersama anak-anak yang lain dalam sebuah workshop yang bertempat di Ma Chung University.

Beberapa prestasi Internasional juga tak asing bagi mereka, salah satunya adalah lahirnya “Friends Of Tanoker”di Canberra (Fund Raising untuk Tanoker di Indonesia Cultural Night)-ANU pada 28 Oktober 2011.

Kiranya aral tetap menghadang. Setelah terengkuhnya sejumput impian tersebut, elite minority timbul di tengah-tengah anak tanoker. Bagaimana tidak? Kesenian egrang telah menjadi lapangan kerja baru dan mampu mengangkat status sosial penduduk setempat. Hal inilah yang sempat menjadi alasan mereka enggan berbagi pengalaman dan kreativitas yang mereka dapatkan. Hal tersebut menjadi alasan Farha Ciciek berkunjung ke asrama SMAN 10 Malang. Beliau tertarik akan tatanan pendidikan di dalamnya, serta kehidupan asrama yang selalu mendorong siswa untuk berbagi.

“Saya senang bisa berada disini. Kalian adalah siswa yang kritis dan apresiatif. Di sini saya juga banyak belajar tentang cara untuk mengaktifkan empati untuk mencegah terjadinya elite minority.” Komentar Farha Ciciek.

            Di tengah perkembangan tanoker yang semakin pesat itu, banyak agenda yang akan segera direalisasikan, seperti membuat arena belajar, perpustakaan desa, teleconference, outlet budaya, bengkel kerja serta museum permainan tradisional, selain Festival Egrang yang dijalankan setiap tahunnya.

            Di penghujung pertemuan, siswa SMANDASA sempat mengajukan beberapa pertanyaan. Mereka juga menunjukkan antusiasme yang tinggi, terutama siswa asal Jember yang berencana akan berkunjung ke Ledok Ombo. Gasyudha Satria Putra, salah seorang Duta Stop AIDS yang merangkap sebagai Duta Anak Kota Malang mengungkapkan ketertarikannya pada sosialisasi kesenian tersebut.

“Benar-benar acara yang mendidik dan inspiratif. Saya sangat tertarik pada quotations yang disampaikan. Meskipun penunjukan sebagai moderator yang terkesan dadakan, tapi inilah pengalaman yang menarik.” Ungkapnya.

Satu hal yang perlu diingat, “Semua orang adalah guru, alam raya adalah sekolah.”

Maju terus Tanoker Indonesia, salam Tanoker untuk SMANDASA!(nov)

By admin