Refleksi 68 tahun Indonesia ber-Pancasila,
PANCASILA, KETUHANAN, KEADILAN DAN PERSATUAN


“Tempat untuk menyendiri yang kusenangi itu di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut. Aku duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat pekerjaan Trimurti yang kukenal dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta berada dalam kuncup yang tumpuh di kulit kayu yang keabu-abuan itu. Aku melihat Wisnu Yang Maha Pelindung dalam daun rimbun dan buahnya yang lonjong. Aku melihat Siwa Yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang runtuh dari batangnya yang besar. Aku merasakan sel tubuhku yang sudah tua membusuk dan mati di dalam.”

(Bung Karno – Penyambung Lidah Rakyat, oleh Cindy Adams, Halaman 163)

Soekarno telah memikirkan, menggali nilai-nilai luhur bangsa yang saat ini dilegalkan menjadi dasar negara, Pancasila. Jauh-jauh itu, seorang pujangga Majapahit mengisyaratkan Pancasila dengan kalimat Bhineka Tunggal Ika. Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika-nya telah disepakati bersma untuk menjadi pedoman bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila memuat etika, nilai-nilai luhur bangsa, serta cita-cita bangsa. 1 Juni dan 1 Oktober masing-masing diperingati sebagai Hari Kelahiran dan Hari Kesaktian Pancasila, namun di abad ke-21 ini makna dua hari nasional itu semakin memudar.

Beberapa hari yang lalu, kasus bom Poso, Sulawesi Tengah dan sejumlah konflik sektarian masih terbeber luas di nusantara. Hal ini membuktikan semakin disfungsinya Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas atau diversitas) masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan. Nilai asli masyarakat Indonesia adalah nilai yang didalamnya melekat dengan konsep multikultural, nilai-nilai seperti toleransi beragama, agregasi sosial, kemajemukan kultural dan etnik, menjadi alasan mengapa para pendiri bangsa ini memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa. Keniscayaan ini harus kita akui secara jujur, terima dengan lapang dada, kelola dengan cermat, dan kita jaga dengan penuh rasa syukur, bukan harus kita tolak, abaikan, sesalkan, biarkan, dan diingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman itu menimbulkan berbagai ekses negatif, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di berbagai tempat di Indonesia.

Garuda-Pancasila

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menggambarkan Indonesia buan sebagai negara agama pun bukan sebagai negara sekuler. Melalui sila pertama tersebut, Pancasila mewadahi semua kepercayaan religi masyarakatnya dengan tidak harus merasa was-was dan terancam. Demikian juga dengan sila ke-dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Adil merupakan cita-cita bangsa, malahan seluruh bangsa di dunia. Di dalam Pancasila terdapat dua kata adil, yaitu pada sila ke dua dan sila ke lima. Bukan kata makmur ataupun sejahtera yang dipilih, melainkan kata adil, karena rakyat masih bisa tahan dengan ketidak makmuran dan tidak sejahtera, namun rakyat tidak akan bertahan dengan ketidakadilan. Sila Persatuan Indonesia setidakn mewakili makna Bhineka Tunggal Ika dalam mengikat ratusan etnis yang tersebar di kepulauan nusantara ini. Melalui Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawratan Perwakilan diharapkan perlindungan kepada umat beribadah, usaha atas persatuan dan keadilan sehingga mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih dalam sebagai ideologi, Pancasila telah dibentuk dari nilai-nilai luhur yang diyakini masyarakat efektif untuk membangun masyarakat yang harmonis dan damai. Terkait dengan tujuan membangun masyarakat harmonis berbasis kearifan lokal tersebut, maka tawaran agar pendidikan karakter melalui kearifan lokal agar mulai diperkenalkan oleh guru kepada para siswa. Semua satuan pendidikan siswanya memiliki keberagaman ras maupun agama, dapat menjadi laboratorium masyarakat untuk penerapan pendidikan karakter. Proses interaksi yang melibatkan semua pihak dalam kearifan lokal sama saja mempelajari karakteristik dari materi yang dikaji sehingga siswa secara langsung dapat menggali karakter peristiwa kelokalan tersebut. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak didik, karena mereka akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, belajar tentang nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah yang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia di masa lalu, tetapi perlu diteladani di era globalisasi yang penuh dengan perubahan.

Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya dan kearifan lokal melalui Pancasila. Upaya membangun masyarakat harmonis di era otonomi daerah yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal, misalnya keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Dalam hal ini, peran dan tanggung jawab instansi pendidikan sangat dibutuhkan untuk mentransfer nilai-nilai kearifan lokal tersebut melalui sebuah tawaran pendidikan karakter berbasis kearifan lokal.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter kuat bersumber dari nilai-nilai yang digali dari budaya masyarakatnya. Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan di era global, namun menjadi kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai modal keunggulan kompetetif dan komparatif suatu bangsa. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai kearifan lokal merupakan langkah strategis dalam upaya membangun karakter bangsa. (arf)

By admin